Salah Asuhan
PEMBAHASAN
A.   Sinopsis Dari Novel Salah Asuhan Yang Dikarang Oleh  Abdul Moeis
Salah  Asuhan
Corrie de Bussee, gadis Indo-Belanda yang cantik, lincah dan  menjadi dambaan setiap pria yang mengenalnya. Corrie berteman dengan  Hanafi dari sejak kecil. Hanafi sendiri adalah laki-laki muda asli  Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan.  Bahkan cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Karena selalu  bersama-sama akhirnya mereka satu sama lain saling mencintai. Tapi cinta  mereka itu tidak dapat disatukan karena perbedaan bangsa, jika orang  Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka tidak diperbolehkan,  yang akhirnya apabila kejadian sampai menikah mereka akan dijauhi oleh para keluarganya dan orang lain. Corrie pun akhirnya pergi  yang tadinya tinggal di Minangkabau menjadi di Betawi. Perpindahan itu  sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan meneruskan  sekolahnya di sana.
Akhirnya ibu  Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu  Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada  tradisi dan adat sukunya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan  Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yaitu Sutan Batuah  yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Tapi Hanafi awalnya tidak  mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi akhirnya dengan  bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena  Rapiah tidak Hanafi cintai keberadaan Rapiah pun di rumah hanya  diperlakukan seperti babu, mungkin Hanafi juga menganggap bahwa Rapiah  itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang  ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu  Syafei.
Suatu hari Hanafi  digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di  Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Di Betawi, Hanafi  menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia  menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi  walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan  Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia,  sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi.  Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang.  Corrie sakit Kholera dan meninggal dunia. Hanafi sangat menyesal telah  menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun  pulang kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, Hanafi  pekerjaannya hanya termenung saja dan tidak terlalu bergairah. Hanafi  sakit, kata dokter dia minum sublimat dan akhirnya dia meninggal dunia. 
B.   Kutipan  Bagian yang Menarik
1.    Kutipan  bagian menarik dari cerita bagian I yaitu Dua orang Sahabat
"Itu benar, Han ! Tapi pada segala pekerjaan ada  batasnya. Maka adalah pekerjaan atau perbuatan yang luar biasa, yang  tiada galib dilakukan orang, sedang pekerjaan yang disangka tidak  mengganggu kesenangan orang lain itu pun boleh jadi akan melanggar peri  kesopanan." 
"Kesopanan ? Apakah  perbuatan kita, duduk berhadapan antara satu meter jaraknya, dibatasi  oleh meja teh, di tempat terang dan pada waktu yang lazim dipergunakan  orang buat berkunjung-kunjungan, boleh dikatakan melanggar peri  kesopanan ?"
"Tidak, hanya …  engkau bujang, aku gadis, sesama manusia kita telah menetapkan pelbagai  undang-undang yang tidak tersurat, tapi yang harus diturut oleh sekalian  manusia dengan tertib, kalau ia hendak hidup aman di dalam pergaulan  orang, yang memakai undang-undang itu." 
"Ah, undang-undang itu, di manakah batasnya ? Bangsamu, bangsa  Eropa, amat melonggarkan pergaulan laki-laki dengan perempuan, Nyonya  yang bersuami sudah galib dibawa-bawa dan dikepit oleh seorang tuan  lain, dengan tidak ada undang-undang tersurat atau tidak tersurat yang  melarangnya. Itu tentang pergaulan. Ambillah pula contoh yang lain. Di  tanah Arab perempuan menutup badan sampai ke muka-muka, tapi di tanah  Amerika banyak benar kota-kota ramai di pantai laut, tempat nyonya dan  tuan-tuan berkeliaran saja memakai baju renang, sampai ke rumah-rumah  minum. Tetapi lihatlah pula setengah bangsa Barat—jika nyonya rumah  berani turun tanah memakai baju piyama, yang nyata lebih menutup kulit  dari pakaian dansa maka nyonya yang berpakaian piyama turun ke tanah itu  akan disebutkan 'melanggar adat sopan santun'. Jadi bagiku, sungguhlah  gelap batas undang-undang kesopanan itu—sebab ia tidak tersurat."
"Hanafi ! Engkau juga yang mulai memperbincangkan  tentang adat lembaga serta tertib kesopanan masing-masing bangsa;  engkau pun juga yang tak suka mengindahkan atau mengakui adanya  perbedaan adat lembaga antara bangsa dengan bangsa. Setiap kita bertukar  pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa berkecil hati  seolah-olah malulah engkau, bahwa engkau masuk golongan Bumiputera, yang  kau sangka bahwa aku menghinakannya. Bahwa sesungguhnya kulitku  berwarna pula, ibuku perempuan Bumiputera sejati, meskipun diriku masuk  pada golongan bangsa Eropa. Dan sementara … fasal hina-menghina  Bumiputera lebih banyak terdengar dari mulutmu sendiri daripada dari  mulutku. Kita akan memperkatakan …"
"Aku tahu betul, bahwa aku hanyalah Bumiputera saja, Corrie !  Janganlah kau ulang-ulang juga."
"Hanafi, Hanafi ! Hari ini fiilmu sangat pula susahnya. Kalau  sifat dan hatimu kurang-kurang kukenal, niscaya akan boleh timbul salah  persangkaan atas dirimu. Jadi fiil tabiatmu sudah jelas benar bagiku.  Tenangkanlah dahulu darahmu; dengarkan baik-baik. Kita akan  memperkatakan hal adat lembaga masing-masing yang digalihkan atau hendak  diubah oleh bangsa-bangsa lain di luar kita, karena di negeri mereka  masing-masing perkara itu memang sedang menjadi buah perselisihan.  Apakah gunanya kita turut-turut memusingkan kepala ? Aku tahu buat  diriku sendiri, meskipun esok atau lusa di kota Solok ini sudah lazim  berjalan berkeliaran memakai baju renang, aku sendiri tidak akan  menyertai arus 'mode' yang serupa itu. Tidak, Hanafi –yang menjadi  pertikaian tutur bagi kita ialah hal adat lembaga sesuatu bangsa di  dalam pergaulannya'. Dalam pergaulan bangsaku, bangsa Eropa, sungguh  longgarlah pergaulan antara laki-laki dengan perempuan, sebagai  kaukatakan tadi. Tapi sebab sudah 'galib', tidaklah akan cepat orang  berbuat fitnah atau menyangka buruk, apabila kelihatan laki-laki bergaul  dengan perempuan lain, yang bukan ahli karibnya. Tetapi dalam pergaulan  bangsamu, apabila di tanah Sumatra ini, lain keadaannya. Jangankan  dengan perempuan lain, dengan ahlinya yang paling karib, sekalipun  dengan adik atau kakaknya sendiri, sudah disebut janggal, apabila ia  bergaul atau duduk bersenda gurau, bahkan berjalan berdua-dua. 
2.    Kutipan  bagian menarik dari cerita bagian II yaitu Ayah dan Anak
"Kawin campuran itu sesunguhnya banyak benar  rintangannya, yang ditimbulkan oleh manusia juga Corrie ! Karena  masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu penyakit kesombongan bangsa.  Sekalian orang, masing-masing dengan perasaannya sendiri, menyalahi  akan bangsanya, yang menghubungkan hidup kepada bangsa yang lain,  meskipun kedua orang menjadi suami-istri itu sangat berkasih-kasihan.
Tapi-asal kedua yang dikatakan "berkesalahan" itu  sama-sama meneguhkan hatinya, tiadalah akan mengenai pada dirinya  segala nista dan cerca orang lain itu. Lihat sajalah keadaanku dengan  namamu. Bangsa dan kaum kerabatnya sekali-kali tidak suka ia hidup  bersama dengan aku, pun bangsaku menyalahi benar akan perbuatanku itu.  Tapi aku, demikian pula namamu, tiadalah kawin dengan orang banyak itu  tidak pula kami bergantung kehidupan pada mereka sekalian. Jadi segala  bantuan mereka tidaklah mengurangi kesenangan kami. Hanya jarang-jarang  yang bertemu demikian, Corrie!"
"Hal Papa dengan Mama, sungguh lain. Papa laki-laki orang  Barat, Mama perempuan orang sini. Sesungguhnya Corrie tidaklah dapat  memberi keterangan tentang hal itu, tapi Corrie berasa saja, bahwa lain  benar keadaan hal pencampuran laki-laki Barat dan perempuan Timur dengan  sebaliknya."
"Perbedaan itu  sungguh ada, Corrie, dan sungguh besar sekali. Sebabnya tiada lain,  karena penyakit "kesombongan bangsa" itu juga. Orang Barat datang ke  mari, dengan pengetahuan dan perasaan, bahwa ialah yang dipertuan bagi  orang sini. Jika ia datang ke negeri ini dengan tidak membawa nyonya  sebangsa dengan dia, tidak dipandang terlalu hina, bila ia mengambil  "nyai" dari sini. Jika "nyai" itu nanti beranak, pada pemandangan orang  Barat itu sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah  di sini. Tapi lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu,  kalau seseorang nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan  orang sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah  menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat; dan dikatakan sudah "membuang  diri kepada orang sini. Di dalam undang-undang negeri ia pun segera  dikeluarkan dari hak orang Eropa. Itu saja sudah tidak dengan  sepatutnya, istimewa pula bila diketahui, bahwa seorang bangsa Bumiputra  yang minta dipersamakan haknya dengan Eropa selama-lamanya tidak boleh  menghilangkan lagi hak itu dan kembali menjadi Bumiputra pula, karena  tidaklah ada sesuatu fasal di dalam undang-undang yang boleh  menggugurkan haknya sebagai orang Eropa. Tapi seseorang perempuan bangsa  Eropa yang kawin dengan orang Bumiputra, selama ditangan suaminya itu  akan kehilangan haknya sebagai orang Eropa. Terlebih hina kedudukannya  di dalam pergaulan bangsa Eropa sendiri, jika nyonya itu sampai beranak,  dipandang bahwa ia turut mengurangi derajat bangsa Eropa. Terasalah  olehmu, Corrie, perbedaan antara kedua perkawinan itu ?"
3.    Kutipan  bagian menarik dari cerita bagian III yaitu Ibu dan Anak
"Ingatlah, Anakku! Harapkan burung terbang  tinggi, punai tangan engkau lepaskan. Tidak akan aman hidupmu, bila  makanan enggang dan bunga larangan yang engkau kehendaki.  Sesayang-sayangnya pada engkau, kaum keluargamu tentu tidak akan  dibawanya duduk bersama-sama. Yang hendak ibu berikan buat gantinya,  ialah anak ibu sendiri yang akan insyaf betul bahwa ia kelak akan  menumpangkan diri padamu. Sedang yang engkau kehendaki ialah orang yang  akan menaruh keyakinan, bahwa ia sudah membuang diri buat  menurutkan kamu. Orang itu berasa berpemberian yang sebesar-besarnya  kepadamu, yang harus kau junjung tinggi. Lebih dahulu engkau  dipandangnya ada berutang budi kepadanya, yang tidak ternilai besarnya.  Tapi yang ibu sediakan bagimu, ialah yang akan berasa sendiri ada  berutang budi kepadamu. Tidaklah ia berasa, bahwa dirinya sudah  diperganduh-ganduhkan buat membayar utangmu pada ayahnya, karena secara  adat Minangkabau yang diketahuinya ialah engkau yang harus menerima  pusaka ayahnya, dan bukanlah dia, yang akan diketahuinya pula ialah  bahwa engkau sudah menunjukkan murah hatimu, suka menerima dia yang  bodoh serta hina menjadi istrinya. Pada hemat ibu, hanya perkawinan yang  secara itulah yang akan menyenangkan hidupmu, teristimewa karena  ketinggian hatimu. Pantang kelintasan, pantang ketindihan oleh kata.  Asal engkau pandai membalas budi dengan budi, selamatlah engkau seumur  hidupmu. Setiap hari engkau berkata bahwa ibumu orang kampung, orang  bodoh, tapi timbang-timbanglah segala kata-kata ibu dengan hati yang  jernih, pikiran yang tenang, uji-ujilah salah-benarnya."
4.    Kutipan bagian menarik dari cerita  bagian VIII yaitu Istri Pemberian Ibu
Dua tahun sudah berjalan, setelah jadi perundingan Hanafi  dengan ibunya tentang beristri itu. Sebelum ia membenarkan kata ibunya,  ia pun sudah dinikahkan dengan Rapiah. 
Di dalam peralatan itu hampir-hampir pernikahan dibatalkan,  karena timbul perselisihan antara pihak kaum perempuan dengan kaum  laki-laki.
Pangkalnya dari  Hanafi juga. Ia berkata "kaum muda", yaitu pakaian secara zaman dahulu,  disebutkan "anak komidi Stambul". Jika ia dipaksa memakai secara itu,  sukalah ia urung saja, demikian katanya dengan pendek. Setelah timbul  pertengkaran di dalam keluarga pihaknya sendiri akhirnya diterimalah,  bahwa ia memakai 'smoking' yaitu jas hitam, celana hitam dengan berompi  dan berdasi putih. Tapi waktu hendak menutup kepalanya sudah beselisih  pula. Dengan kekerasan ia menolak pakaian destar saluk, yaitu  pakaian orang Minangkabau. Bertangisan sekalian perempuan, meminta  supaya ia jangan menolak tanda Keminangkabauan yang satu itu, yaitu  selama beralat saja. Jika peralatan sudah selesai, bolehlah ia memakai  sekehendak hatinya pula.
Hanafi tetap  menolak kehendak orang, ia tidak hendak menutup kepala, karena lebih  gila pula dari komidi, bila memakai destar, saluk dengan baju smoking  dan dasi.
Setelah ibunya  sendiri hilang sabarnya dan memukul-mukul dada di muka anak yang  'terpelajar itu, barulah Hanafi menurutkan kehendak orang banyak, sambil  mengeluh dan teringat akan badannya yang sudah … 'tergadai'.
Untunglah ia menurutkan hal menutup kepala itu,  karena sekalian pengantar dan pasumandan (pengiring bangsa  perempuan), sudah berkata bahwa mereka tak sudi mengiringkan 'mempelai  didong'. 
Dalam dua tahun  hidup beristri itu, Rapiah dipandangnya sebagai seorang istri yang  diberikan kepadanya. Segala kewajiban sebagai suami adalah diturutnya,  demikian ia berkata, tapi akan batinnya Rapiah tidak berhak. Leif  de, synpatie dan lain-lain lagi perkataan yang menyeramkan bulu  tengkuk ibunya, tentu Rapiah tidak boleh mengharap daripadanya. Demikian  pula tentang kemerdekaannya. 
5.    Kutipan bagian menarik dari judul  bagian IX yaitu Durhaka kepada Ibu
Kemarahan Hanafi kepada anaknya, yang katanya sudah dimasuki  setan dan kepada si Buyung yang masih belum datang, serta malunya kepada  kawan-kawannya melihat istrinya datang, yang tidak ubah rupanya dengan  hoki, kesemuanya sudah tertumpah ke atas kepala Rapiah.
Sambil merentakkan anak itu ke tangan ibunya,  dikatainyalah istrinya di muka kawan-kawannya dengan segala nista dan  penghinaan, hingga ketiga tamu itu menjadi resah dan tidak berketentuan  rasa lagi. 
Rapiah tunduk,  tidak menyahut, hanya air matanya saja yang berhamburan. Syafei, dalam  dukungan ibunya yang tadinya menangis keras, lalu mengganti tangisnya  dengan beriba-iba. Seakan-akan tahulah anak kecil itu, bahwa ibunya yang  tidak berdaya, sedang menempuh azab dunia dan menanggung aib di  muka-muka orang.
Sedang Rapiah  berjalan gontai menuju ke dapur sambil menundukkan kepala, seolah-olah  sedang bertangis-tangisan dengan anaknya, si suami celaka masih  mengiringkannya dengan kata-kata yang sudah tak layak didengar lagi. 
Pada waktu itu Ibu Hanafi sedang di tengah rumah  pula, jadi mendengar dan melihatlah ia apa yang sedang terjadi.  Sesampainya ke dapur pula, lalu dipeluk dan ditangisinyalah menantu dan  cucunya yang malang itu. Maka ketika itu di dalam dapur tiadalah lain  yang terdengar, hanyalah keluh kesah dan tangis ketiga mereka itu saja. 
6.         Kutipan bagian menarik dari  cerita bagian XII yaitu istri pemberian ibunya
"Jangan kau sebut jual hal ke Betawi itu, Piah.  Memang sebaik-baiknya kami bercerai-berai, sia-sia jualah bila  berkumpul-kumpul. Bagaimana akan dapat minyak dibaurkan dengan air ?  Memang ia anak yang kukandung, kulahirkan sendri! Darah dagingku  sendiri, Piah ! Tapi apa boleh buat ! Entah karena salah asuhan entah  karena salah campuran, tapi anak itu sangat mengasingkan hidupnya.  Berlain pemandangannya dengan kita, berlain pendapatnya, berlain  perasaannya. Ya – Piah ! Tak dapatlah ibu menyangkakan kepecahan telur  sebutir hal kehilangan anak itu, karena ia hanya seorang itu saja dan  tidak pula berayah. Yang kandung benar saudara ibu, hanyalah ayahmu,  seibu sebapa dengan ibu, Piah, itulah sebabnya maka ibu berkeras menahan  engkau. Ibu seperuntungan dengan ayahmu sama-sama tunggal, karena  turunan kita memang jarang.
7.     Kutipan bagian menarik dari cerita bagian XIX yaitu Mertua  dan  Menantu
"Kepada ibu pastilah engkau tidak akan durhaka, karena didalam  sesuatu hal ibu akan membenarkan saja segala sesuatu yang hendak engkau  lakukan, teristimewa pula didalam hal ini. Hanya ayahmu tentu tidak akan  ijin, jadi nyatalah engkau akan melakukan sesuatu buatan yang tidak  direlakan ayahmu. Durhaka kepada ayah dan ibu itu berat benar  tanggungannya, Piah, Berat buat di dunia, berat pula buat di akhirat."
8.    Kutipan bagian menarik dari cerita  bagian XXI yaitu Tali Percintaan
Tahulah Hanafi sekarang; Rapiah, intan yang belum digosok.  Sayang, ia tak pandai menggosoknya hingga barang yang berharga itu  dibuang-buang, disangkanya tidak berharga.
Corrie berlian yang sudah digosok, harganya tidak  ternilai-nilai, tapi si suami yang celaka tak pandai memakainya dan  enyahlah harta itu dari kandungannya. Hanafi menyesali dirinya tidak  berhingga-hingga.
9.     Kutipan yang menarik dari cerita bagian XXIV yaitu di Jalan  Hendak Pulang 
"Tuan Han, bagi  Tuan amat melarat, jika berkata-kata panjang. Baiklah Tuan mendengarkan  saja apa yang hendak saya tuturkan, sebagai dokter dan sebagai manusia.  Kita berhadapan sebagai orang yang sama-sama terpelajar, sopan, muda dan  sudah tentu sama-sama pula mengetahui dan menderita akan arti cinta.  Dengarlah ! sepanjang pendapat saja, cinta itu akan berbukti benar, bila  yang menaruhnya tahu menaruh sabar, tahu menegakkan kepalanya di dalam  segala rupa bahaya serta rintangannya. Cinta itu tahu memberi korban,  jika perlu. 
C.   Unsur Instrinsik dari Novel Salah  Asuhan
1.    Tema
Adapun tema yang terkandung dalam  novel Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis adalah adat istiadat.
2.    Amanat
Adapun amanat yang terkandung dalam  novel Salah Asuhan adalah : 
1)  Janganlah  melupakan adat istiadat negeri sendiri, jikalau ada adat istiadat dari  bangsa lain, boleh saja kita menerima tapi harus pandai memilih, yaitu  pilihlah adat yang layak dan baik kita terima di negeri kita.
2)  Jangan  memaksakan suatu pernikahan yang tidak pernah diinginkan oleh pengantin  tersebut, karena akhirnya akan saling menyiksa keduanya. 
3.    Alur
Alur yang digunakan dalam novel  Salah Asuhan adalah alur maju. 
4.    Tokoh
1)  Hanafi,  wataknya egois, keras kepala
2)  Corrie, wataknya baik, mudah bergaul
3)  Rapiah,  wataknya sabar, lembut
4)  Ibu Hanafi, wataknya sabar
5)  Tuan Du  Busse, wataknya tegas dan keras
6)  Sutan  Batuah, wataknya tegas dan keras
7)  Syafei,  wataknya berani
8)  Si Buyung wataknya penurut
5.    Latar
Latar atau tempat terjadinya yaitu :  
1)  Lapangan tenis di Minangkabau
2)  Rumah  Corrie dan rumah Hanafi di Minangkabau
3)  Betawi
4)  Semarang
6.     Sudut Pandang
Dalam novel Salah Asuhan Abdoel Moeis ini,  pengarang bertindak sebagai orang ketiga yaitu menceritakan kehidupan  tokoh-tokoh pada novel tersebut.
7.    Gaya  Penulisan
Gaya  penulisan dari novel ini apabila dilihat dari segi bahasa adalah bahasa  Melayu dan ada juga diselipkan bahasa Belanda. Dalam penulisannya  terdapat pantun dan sedikit pribahasa.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar